Selasa, 30 Juni 2020

Ayo berqurban buat para duafa


#idariBerqurban

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته 
.
Hari Raya I Dul Adha atau I Dul Qurban sebentar lagi., dalam memudahkan urusan masyarakat dan wujud kepedulian kepada fakir dan miskin yg ada d Pekanbaru-Riau sekitar, Ikatan Da'i Riau (IDARI) hadir bersama ummat dalam program #idariPeduli #idariBerqurban, menerima dan membantu Kaum Muslimin yg ingin berkurban utk disalurkan kpd fakir dan miskin, atau daerah² terpencil di Pekanbaru-Riau sekitar, agar mereka merasakan kemenangan di hari I Dul Adha 1441 H/2020 M.

Bagi Kaum Muslimin yg ikut mendukung program #idariPeduli #idariBerqurban dapat mentransfer ke rekening:

BNI-Syariah
NoRek. 0836628560
Atas nama MUKHLIS

@Rp. 2.350.000 / org peserta Kurban

Mohon konfirmasinya jika sudah mentransfer, ke nomer 0813-6575-2449

Demikian yg dapat disampaikan, semoga Allâh Ta'âlâ memberikan kelapangan rezeki dan kita bisa turut membahagiakan fakir miskin di hari kemenangan, Ãmîn Yâ Mujîba as-Sâilîn 
🤲🤲🤲

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

Pekanbaru, Juni 2020
Ketua IDARI

dto

DAENG MUKHLIS

Sekretaris

dto

HIDAYAT AR-ROKANI

#idariPeduli 
#idariBerqurban
#berqurbanUntukFakirMiskin

-

Minggu, 28 Juni 2020

Pelepasan dan wisuda santri pondok Tahfiz khoiru ummah Pekanbaru



Dok. Foto bersama majelis guru dan santriwati yang wisuda 

AKHBARKHOIR.BLOGSPOT.COM---Pekanbaru.. pada hari Sabtu 27 Juni 2020 lalu telah dilaksanakan pelepasan dan wisuda Tahfiz khoiru ummah Pekanbaru, kegiatan berjalan dengan lancar dan syahdu. Seyogyanya kegiatan ini mesti dihadiri oleh seluruh wali murid dan santri, dikarenakan masih dalam masa PANDEMI, hanya dihadiri santri akhir saja.  Acara ini dimulai pada jam 07 pagi secara online, masing-masing wali murid dan santri kelas VII dan VIII menyaksikan dirumahnya. Acara ini diawali pembacaan Al-Qur'an oleh santriwati Tiara sari kemudian sambutan dan pengarahan oleh kepala sekolah pondok Tahfiz ustadz Usman As-syafi'i. Dalam penyampaian nya beliau mengajak para santri dan santriwati untuk mengamalkan seluruh ilmu yang dipelajari di pondok dan tetap berbakti kepada orang tua. Seluruh peserta yang hadir mendengarkan dengan penuh hikmat, disela-sela penyampaian peserta yang hadir ada yang meneteskan air mata karena terharu mendengar penyampaian kepala sekolah tersebut. Penyampaian berikutnya oleh salah seorang wali murid santri bapak Heris. Dalam penyampaian nya beliau mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh majelis guru dan yayasan karena telah sabar dan sungguh-sungguh mendidik anandanya. Beliau juga mengungkapkan bagaimana proses belajar di pondok Tahfiz khoiru ummah sangat efektif untuk membentuk kepribadian para santri sehingga para wali santri merasakan banyak perubahan yang dialami anandanya. Maka pondok Tahfiz ini juga direkomendasi oleh beliau untuk alternatif pendidikan dimasa kini. 
Setelah penyampaian tersebut acara dilanjutkan dengan pelepasan dan wisuda santri/Wati. 




Diakhir kegiatan pembawa acara ust. M.thoha menyempurnakan acara dengan doa yang dipimpin oleh ustadz daeng Mukhlis. Setelah acara selesai santri/Wati dan wali santri bersalaman dengan para guru yang hadir. Liputan damar


Jumat, 12 Juni 2020

OJK peduli guru ngaji

pada hari Jum’at 12  Juni 2020 Rombongan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pekanbaru mendatangi kediaman ustadz daeng Mukhlis selaku ketua Ikatan Da’i Riau dalam rangka memberikan bantuan sembako untuk disalurkan kepada guru ngaji. Bantuan ini diberikan dalam rangka mendukung program peduli guru ngaji yang diluncurkan oleh ikatan Dai Riau pada awal April lalu. OJK juga berterima kasih dengan adanya program ini, sehingga para guru Ngaji dapat terbantu dikarenakan dampak dari COVID-19. Dan harapan mereka program ini terus berlanjut dalam bentuk yang lebih luas lagi sehingga mampu membantu pemerintah dalam melayani masyarakat. Pada saat yang sama Ketua Ikatan Da’i Riau ustadz Daeng Mukhlis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga atas dukungan pihak OJK terhadap program yang ditanam oleh ikatan Dai Riau.a Diakhir pembicaraan dengan tim OJK ustadz Daeng Mukhlis mendoakan kebaikan kepada tim semoga bisa jadi amal kebaikan dan dapat pahala dari Allah SWT. 

https://youtu.be/Yljhc-DNTWc

Video OjK memberikan bantuan


Selasa, 09 Juni 2020

Pentingnya Beramal Kontinu (Rutin), Walaupun Sedikit


Di antara keunggulan suatu amalan dari amalan lainnya adalah amalan yang rutin (kontinu) dilakukan. Amalan yang kontinu –walaupun sedikit- itu akan mengungguli amalan yang tidak rutin –meskipun jumlahnya banyak-. Amalan inilah yang lebih dicintai oleh Allah Ta’ala. Di antara dasar dari hal ini adalah dalil-dalil berikut.
Dari ’Aisyah –radhiyallahu ’anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.” ’Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [5]
Dari ’Aisyah, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah. Rasul shallallahu ’alaihi wa sallammenjawab,
أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
Amalan yang rutin (kontinu), walaupun sedikit.[6]
’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah, ”Wahai Ummul Mukminin, bagaimanakah Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam beramal? Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,
لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً وَأَيُّكُمْ يَسْتَطِيعُ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَطِيعُ
Tidak. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (rutin dilakukan). Siapa saja di antara kalian pasti mampu melakukan yang beliau shallallahu ’alaihi wa sallam lakukan.”[7]
Di antaranya lagi Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam contohkan dalam amalan shalat malam. Pada amalan yang satu ini, beliau menganjurkan agar mencoba untuk merutinkannya. Dari ’Aisyah, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ
Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.[8]
Keterangan Ulama Mengenai Amalan yang Kontinu
Mengenai hadits-hadits yang kami kemukakan di atas telah dijelaskan maksudnya oleh ahli ilmu sebagai berikut.
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, ”Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah agar kita bisa pertengahan dalam melakukan amalan dan berusaha melakukan suatu amalan sesuai dengan kemampuan. Karena amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang rutin dilakukan walaupun itu sedikit.”
Beliau pun menjelaskan, ”Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah amalan yang terus menerus dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ’Abdullah bin ’Umar.”[9] Yaitu Ibnu ’Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku,
يَا عَبْدَ اللَّهِ ، لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ ، كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ
Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan. Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak mengerjakannya lagi.” [10]
Para salaf pun mencontohkan dalam beramal agar bisa dikontinukan.
Al Qosim bin Muhammad mengatakan bahwa ’Aisyah ketika melakukan suatu amalan, beliau selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. [11]
Al Hasan Al Bashri  mengatakan, ”Wahai kaum muslimin, rutinlah dalam beramal, rutinlah dalam beramal. Ingatlah! Allah tidaklah menjadikan akhir dari seseorang beramal selain kematiannya.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan, ”Jika syaithon melihatmu kontinu dalam melakukan amalan ketaatan, dia pun akan menjauhimu. Namun jika syaithon melihatmu beramal kemudian engkau meninggalkannya setelah itu, malah melakukannya sesekali saja, maka syaithon pun akan semakin tamak untuk menggodamu.”[12]
Maka dari penjelasan ini menunjukkan dianjurkannya merutinkan amalan yang biasa dilakukan, jangan  sampai ditinggalkan begitu saja dan menunjukkan pula dilarangnya memutuskan suatu amalan meskipun itu amalan yang hukumnya sunnah.

Minggu, 31 Mei 2020

*HUKUM SHAF SHOLAT SOCIAL DISTANCING DI ERA PANDEMI COVID-19*

*HUKUM SHAF SHOLAT SOCIAL DISTANCING DI ERA PANDEMI COVID-19*

*Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi*

*Tanya :*
Ustadz, apa hukumnya mengatur shaf sholat jamaah secara social distancing di masjid, yaitu ada jarak sekitar 1 meter antara satu orang dengan orang lainnya, karena khawatir ada potensi penularan wabah virus Corona dalam pandemi Covid-19 saat ini? (Mahfudz, Kudus)

*Jawab :*
Hukum mengatur shaf sholat dengan adanya jarak seperti yang ditanyakan di atas, berkaitan dengan hukum meluruskan dan merapatkan shaf. Karenanya, akan kami jelaskan lebih dulu pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam hukum meluruskan dan merapatkan shaf ini, karena terdapat perbedaan pendapat di antara ulama dalam masalah ini. Setelah itu akan kami jelaskan hukum syara’ untuk pengaturan shaf secara berjarak dalam pandemik Covid-19 yang ada saat ini.

Perlu diketahui memang ada perbedaan pendapat _(khilâfiyah)_ di kalangan ulama mengenai hukum meluruskan shaf _(taswiyyat al shufûf)_, termasuk di dalamnya adalah merapatkan shaf _(al tarâsh, suddul khalal)_ supaya tidak ada celah/kerenggangan _(furjah)_ antara satu orang dengan orang lainnya.

Dalam masalah ini ada 2 (dua) pendapat.

*Pertama,* pendapat jumhur ulama, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu hukumnya sunnah (mandûb), tidak wajib.

Inilah pendapat jumhur ulama, di antaranya pendapat empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi (Az Zaila’i, _Tabyîn Al Haqâ`iq,_ 1/136), mazhab Maliki (An Nafrâwi, _Al Fawâkih Ad Dâwanî,_ 1/527), mazhab Syafi’i (An Nawawî, _Al Majmû’,_ 4/301), dan mazhab Hanbali (Al Mardâwî, _Al Inshâf,_ 2/30).

*Kedua,* pendapat sebagian ulama, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu hukumnya wajib. Para ulama yang berpendapat seperti ini antara lain Imam Ibnu Hazm _(Al Muhalla,_ 2/375), Imam Ibnu Taimiyyah _(Al Fatâwâ Al Kubrâ,_ 5/331), Imam Ibnu Hajar Al Asqalânî _(Fathul Bârî,_ 2/207), Imam Badruddin Al ‘Ainî _(‘Umdatul Qârî Syarah Al Bukhârî,_ 5/255), dan Imam Ash Shan’ânî _(Subulus Salâm,_ 2/29).

Pendapat kedua inilah yang kemudian difatwakan oleh Syekh Ibnu ‘Utsaimin _(Syarah Al Mumti’,_ 3/10) dan Lajnah Dâ`imah dari Arab Saudi _(Fatâwâ Al Lajnah Al Dâ`imah, Al Majmû’ah Al Tsâniah,_ 6/324). (lihat : https://dorar.net/feqhia/1402/). 

Ulama yang mewajibkan meluruskan dan merapatkan shaf tersebut antara lain berhujjah dengan hadis dari Anas bin Malik RA dalam Shahîh Bukhâri bahwa Rasulullah SAW bersabda :

سووا صفوفكم، فإن تسوية الصفوف من إقامة الصلاة

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya lurusnya shaf itu termasuk ke dalam tegaknya sholat.” (HR Bukhari, no. 690).

Imam Ibnu Hazm mengomentari hadis tersebut dengan berkata :

تسوية الصف إذا كان من إقامة الصلاة فهو فرض، لأن إقامة الصلاة فرض، وما كان من الفرض فهو فرض

“Lurusnya shaf jika termasuk dalam tegaknya sholat, maka hukumnya fardhu (wajib). Karena tegaknya sholat itu fardhu, dan apa saja yang merupakan bagian dari suatu kefardhuan, maka hukumnya juga fardhu.” (Ibnu Hazm, _Al Muhalla,_ 2/375).

Namun demikian, jumhur ulama tidak sependapat bahwa meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya wajib. Bagi jumhur ulama, hukumnya sunnah (mandûb), tidak wajib.

Ini karena jumhur ulama berpegang dengan hadis Abu Hurairah RA, dalam _Shahîh Bukhâri_ juga, yang meriwayatkan sabda Rasulullah SAW dengan redaksi yang sedikit berbeda, yaitu sabda Rasulullah SAW :

أقيموا الصف في الصلاة، فإن إقامة الصف من حسن الصلاة

“Luruskan shaf dalam sholat, karena lurusnya shaf itu termasuk dalam bagusnya sholat.” (HR Bukhari, no. 689).

Dalam hadis Abu Hurairah ini, lurusnya shaf disebut sebagai “termasuk bagusnya sholat” _(min husni ash sholât)._ Bukan disebut “termasuk tegaknya sholat” _(min iqâmat ash sholât)_ sebagaimana hadis Anas bin Malik sebelumnya.

Lafal “min husni ash sholât” menurut jumhur ulama menunjukkan makna tambahan (ziyâdah), setelah sempurnanya sholat. Jadi artinya, lurusnya shaf itu bukanlah kewajiban, melainkan sekedar afdholiyah (keutamaan) saja, alias sesuatu yang sunnah, bukan sesuatu yang wajib.

Imam Ibnu Baththal dalam kitabnya _Syarah Shahîh Bukhâri_ menjelaskan hadis di atas dengan berkata:

هذا الحديث يدل أن إقامة الصفوف سنة مندوب إليها ، وليس بفرض ؛ لأنه لو كان فرضًا لم يقل ، عليه السلام ، فإن إقامة الصفوف من حسن الصلاة ؛ لأن حسن الشىء زيادة على تمامه ، وذلك زيادة على الوجوب

“Hadis ini menunjukkan bahwa lurusnya shaf adalah sunnah (mandub), bukan fardhu. Sebab kalau seandainya fardhu, niscaya Rasulullah SAW tidak akan mengatakan lurusnya shaf adalah “termasuk bagusnya sholat” (min husni ash sholat). Karena bagusnya sesuatu itu berarti tambahan atas kesempurnaan sesuatu, yaitu suatu tambahan atas suatu kewajiban...” (Ibnu Bathal, _Syarah Shahîh Al Bukhârî,_ 2/347).

Berdasarkan penjelasan ini, kami lebih cenderung kepada pendapat jumhur ulama, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu hukumnya sunnah, tidak wajib.

Imam Nawawi dalam _Syarah Shahih Muslim_ menegaskan :

وقد أجمع العلماء على استحباب تعديل الصفوف والتراص فيها

“Para ulama sungguh telah sepakat (ijmâ’) bahwa sunnah hukumnya meluruskan dan merapatkan shaf.” (Imam Nawawi, _Syarah Shahîh Muslim,_ 5/103).

Hanya saja, perlu dipahami bahwa penjelasan hukum meluruskan dan merapatkan shaf di atas, adalah jika kondisi kita normal-normal saja, yakni tidak ada pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

Adapun ketika ada ancaman pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, maka hukum meluruskan dan merapatkan shaf secara syar’i adalah boleh, baik bagi jumhur ulama yang mensunnahkan maupun bagi sebagian ulama yang mewajibkan.

Bagi jumhur ulama yang mensunnahkan, masalahnya jelas, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu sendiri memang hukumnya tidak wajib. Hukum ini dapat diamalkan dalam kondisi normal ataupun dalam kondisi pandemik sekarang ini.

Adapun bagi ulama yang yang mewajibkan, adanya kondisi pandemik ini merupakan udzur syar’i yang membolehkan meninggalkan kewajiban, sehingga akhirnya merekapun membolehkan pengaturan shaf sholat secara berjarak (social/physical distancing) di masjid.

Sebagian ulama kontemporer yang mengikuti pendapat Imam Ibnu Taimiyah atau Syekh Ibnu Utsaimin yang mewajibkan untuk meluruskan atau merapatkan shaf, akhirnya membolehkan shalat secara berjarak dengan alsan adanya udzur, yaitu khawatir tertular virus Corona.

Dalam situs islamqa.info terdapat fatwa yang menjelaskan :

الذي يظهر جواز صلاة الجماعة في المساجد مع وجود مسافات بين المصلين في الصف خوفا من انتشار العدوى والوباء، وأنه أفضل من إغلاق المساجد، فترك التراص هنا لعذر...

“Pendapat yang jelas adalah bolehnya sholat berjamaah di masjid-masjid dengan adanya jarak-jarak di antara orang yang sholat dalam shaf (barisan) karena takut tertular penyakit atau wabah, dan ini lebih afdhol daripada penutupan masjid-masjid. Jadi meninggalkan merapatkan shaf di sini adalah karena adanya udzur…” (https://islamqa.info/ar/answers/333882/).

Kesimpulannya, *pertama,* pendapat yang rajih (lebih kuat), meluruskan dan merapatkan shaf dalam sholat berjamaah itu hukumnya sunnah, tidak wajib.

*Kedua,* boleh hukumnya mengatur shaf sholat dengan adanya jarak (social distancing) dalam sholat jamaah di masjid-masjid, karena ada udzur, yaitu khawatir akan ancaman Covid-19 seperti sekarang ini. Wallâhu a’lam.

*Yogyakarta, 31 Mei 2020 (9 Syawal 1441 H)*

*M. Shiddiq Al Jawi*

Kamis, 07 Mei 2020

TAUSIYAH RAMADHAN


SISI-SISI KEMU’JIZATAN AL QUR-AAN

Sebagian ulama umat Islam menganggap bahwa sisi kemu’jizatan al-Quran adalah informasi (ikhbar) al-Quran tentang kisah-kisah orang terdahulu, sebagian dari kejadian-kejadian yang akan terjadi pada masa mendatang, dan kandungan al-Quran mengenai sebagian hukum alam yang tidak diketahui oleh manusia di saat turunnya al-Quran; atau yang mereka sebut dengan mu’jizat ilmiah.
Sebenarnya hal-hal yang telah disebutkan di atas tidak dapat dikategorikan sebagai mu’jizat karena dua alasan berikut:
1. Mu’jizat adalah pembuktian kelemahan manusia (itsbaatu ‘ajz al-basyar) dengan hadirnya sesuatu yang dapat melemahkan (al mu’jiz), hingga hari kiamat. Selama manusia mampu menceritakan tentang apa yang terjadi pada masa lampau ataupun memperkirakan tentang kejadian yang akan datang walaupun disertai kebohongan, serta selama ia mampu menyingkap sebagian hukum-hukum alam, niscaya mereka juga mampu menghadirkan semua perkara-perkara tersebut dan mengarang jutaan kitab tentang itu. Oleh sebab itu, keberadaan perkara-perkara seperti itu dalam al-Qur-aan al-Kariim tidaklah menunjukkan kemu’jizatan al-Quran.
2. Ayat-ayat yang mengandung cerita-cerita orang-orang terdahulu dan informasi (khabar) tentang kejadian yang akan datang, serta sebagian aturan-aturan yang terkait dengan ilmu pengetahuan alam hanyalah sebagian saja dari al-Quran. Berdasarkan akal mereka, perkara-perkara itu dianggap sebagai mu’jizat. Sedangkan, ayat-ayat dan surat-surat yang lain tidak mengandung kemu’jizatan ini. Padahal keseluruhan isi yang terdapat dalam al-Quran adalah mu’jizat. Allah telah menantang orang-orang Arab untuk mendatangkan surat yang semisal dengan apa yang ada dalam al-Quran, semisal surat al ikhlaash, al-Falaq dan al-Naas. Sedangkan ketiga surat ini sama sekali tidak mengandung persoalan-persoalan yang mereka anggap sebagai mu’jizat.
Perkara-perkara yang mereka anggap sebagai mu’jizat tersebut hanya dalil atas ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Sehingga bukan termasuk ke dalam salah satu di antara sisi kemu’jizatan al-Quran.
Adapun kemu’jizatan al-Quran yang sebenarnya tercermin di dalam gaya bahasanya yang mengandung makna-makna. Kemu’jizatan al-Quran terletak pada bayan (penjelasannya) dan nazhamnya (harmonisasi)- nya. Bangsa Arab fush-haa (yang masih fasih berbahasa Arab) telah menyadari kemu’jizatan ini. Bahkan salah seorang musuh da’wah, yakni al-Walid bin al-Mughirah, telah mengakui kemu’jizatan ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya saya telah mengenal seluruh sya’ir, Rajaznya, lagunya, sya’irnya, sempitnya, dan keluasannya. Sungguh, al-Quran bukanlah sya’ir”. Kemudian ia melanjutkan, “Sesungguhnya saya telah melihat tukang sihir dan berbagai bentuk sihir mereka. Tapi al-Quran bukanlah seperti mantera tukang sihir, dan juga bukan sihir mereka …, demi Allah, sesungguhnya perkataan Muhammad sangatlah manis. Pokoknya, penuh dengan kesejukan, sedangkan cabangnya penuh dengan bebuahan”.
Al-Khaththaabi pernah berkomentar tentang al-Quran, “Al-Quran menjadi mu’jizat karena, al-Quran hadir dengan lafazhnya yang paling fasih, dalam bentuk susunan ‘sya’ir’ yang terindah; Sehingga melahirkan makna-makna fasih berupa pengesaan terhadap Allah, pensucian sifat-sifat-Nya, seruan untuk mentaati-Nya, penjelasan tentang tata cara penghambaan kepada-Nya dalam hal-hal kehalalan dan keharaman, larangan dan kebolehan, nasehat dan petunjuk, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, serta petunjuk menuju akhlaq yang terpuji. Dan tidak ada satupun yang bisa menyamainya. Semuanya ditempatkan pada proporsinya, sehingga tidak ada yang lebih baik dari al-Quran. Di dalamnya juga termaktub cerita masa lampau serta hukuman pembalasan dari Allah terhadap orang-orang yang durhaka dan membangkang. Di dalamnya terkandung hujjah dan kritik (muhtajj), dalil-dalil dan madlul ‘alaihi (yang ditunjukkan oleh dalil).”
Telah diketahui, bahwa kehadiran al-Quran dalam bentuk seperti itu –dengan gaya bahasa semacam itu-- , terhimpunnya hal-hal yang awalnya tercerai berai hingga akhirnya tersusun sistematis dan harmonis, merupakan perkara yang bisa mematahkan (mu’jiz) ‘kekuatan’ manusia. [Abu Salman Al Khaththabi, dalam kitabnya Bayaanu I’jaaz il Qur-aan].
Sisi-sisi kemu’jizatan al-Quran hanya terbatas pada gaya bahasa (usluub) al-Quran, yakni unsur-unsur penyusun gaya bahasanya:
1. Pada lafazh (al al-faazh) dan susunannya (at taraakiib). Al-Quran hadir dengan gaya bahasa tersendiri. Tidak seorang Arab yang fasih pun, mampu membuat yang semisal dengannya. Sebagian diantara telah berusaha mencoba untuk mendatangkan yang semisal dengannya, namun mereka tidak sanggup.
2. Pada hal irama (nagham). Susunan huruf-huruf dan kata-kata pada ayat-ayat al-Quran datang dengan irama khas yang tidak terdapat pada ucapan manusia, baik di dalam sya’ir maupun prosa. Misalnya, ketika Anda mendengar firman Allah swt:

falaa uqsimu bil khunnas, al jawaaril kunnas, wal layli idzaa ‘as‘as, wash shubhi idzaa tanaffas, innahuu laqawlu rasuulin kariim/
فَلاَ أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِالْجَوَارِ الْكُنَّسِوَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَوَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَإِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ
Maka Aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan yang terlindung, demi malam apabila telah pergi, demi fajar apabila telah terang, sesungguhnya al qur-aan itu adalah firman Allah yang dibawa Rasul yang mulia (QS. At Takwiir[81]: 15-19),

maka Anda akan rasakan desauan huruf “sin” yang berulang-ulang dan kelembutan iramanya yang terasa serasi (harmonis) dengan makna yang dikandungnya. Di situ dibicarakan ketenangan malam dan terbitnya fajar. Misalnya lagi, ketika Anda mendengar firman Allah Ta’aala yang lain:

“idzaa ulquu fiihaa sami’uu lahaa syahiiqan wa hiya tafuur, takaadu tamayyazu min al ghayzhi, kullamaa ulqiya fiihaa fawjun sa-alahum khazanatuhaa alam ya-tikum nadziir/
إِذَا أُلْقُوا فِيهَا سَمِعُوا لَهَا شَهِيقًا وَهِيَ تَفُورُتَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ
Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar padanya suara yang mengerikan sedang neraka itu menggelegak, hampir (neraka) itu terpecah karena marah. Setiap kali suatu rombongan dilemparkan ke dalamnya, penjaga neraka bertanya kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepadamu seorang yang memberi peringatan? (QS. Al Mulk[67]: 7-8).

maka akan Anda rasakan kekuatan dari kata-kata “ulquu fiihaa” (mereka dilemparkan ke dalamnya), “syahiiqan” (suara mengerikan), “tafuur” (menggelagak), “tamayyazu” (terpecah), “al-ghayzhu” (kemarahan), yang menggambarkan panorama menakutkan mengenai neraka jahannam sebagai tempat dijatuhkannya siksaan Allah kepada kita.

3. Lafadz-lafadz dan susunan-susunan yang terkandung di dalam Al-Quran memuat keberagaman dan kemenyeluruhan makna. Al-Quran telah memberi banyak makna meskipun lafadz-lafadznya ringkas. Sebagai contoh adalah firman Allah yang berbunyi:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ
Dan bagi kalian di dalam hal qishaash itu terdapat kehidupan… (TQS. Al Baqarah[2]: 179).

Walaupun lafadznya ringkas (sedikit), penggalan ayat ini memiliki banyak makna. Sebab, makna ayat tersebut adalah; apabila manusia mengetahui siapa saja yang membunuh, ia akan dibunuh balik, maka hal itu secara tidak langsung merupakan perintah, agar manusia tidak melakukan pembunuhan (irtifaa’ ul qatl) sebab, ia akan dibalas dengan pembunuhan, yaitu qishaash. Dengan demikian, irtifaa’ ul qatl (tidak melakukan pembunuhan) ini merupakan kehidupan bagi manusia yang lain. Allah swt berfirman:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلاَ تَخَافِي وَلاَ تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Dan telah Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Hendaklah engkau menyusukannya, maka apabila engkau khawatir terhadapnya, maka hanyutkanlah ke sungai dan janganlah khawatir dan bersedih hati. Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya salah seorang rasul (TQS. Al Qashash[28]: 7).

Ibnu Arabi berkata, “Ayat ini merupakan pengungkapan kefashihan yang paling tinggi di dalam al qur-aan. Karena di dalamnya terdapat dua perintah dan larangan, serta dua informasi dan kabar gembira. Oleh karena itu, terkumpulnya makna yang sangat banyak dan beragam ini dalam lafadz-lafadz dan susunan-susunan kalimat, dalam sebuah susunan yang sangat jelas, merupakan salah satu penampakan dari kemu’jizatan al-Quran al-Karim”. (As Suyuthiy-Al Itqaan JuzII/55)

Wawancara ketua Idaripeduli

Dalam waktu singkat, program yang diluncurkan oleh Ikatan dai riau (IDARI) peduli guru ngaji berjalan dengan baik dan dapat membantu banyak para guru ngaji. Sehingga kami tertarik untuk menanyakan langsung,  konsep program yang dijalankan.

Berikut liputan nya :
https://youtu.be/3tf4h8bmWkc