Minggu, 31 Mei 2020

*HUKUM SHAF SHOLAT SOCIAL DISTANCING DI ERA PANDEMI COVID-19*

*HUKUM SHAF SHOLAT SOCIAL DISTANCING DI ERA PANDEMI COVID-19*

*Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi*

*Tanya :*
Ustadz, apa hukumnya mengatur shaf sholat jamaah secara social distancing di masjid, yaitu ada jarak sekitar 1 meter antara satu orang dengan orang lainnya, karena khawatir ada potensi penularan wabah virus Corona dalam pandemi Covid-19 saat ini? (Mahfudz, Kudus)

*Jawab :*
Hukum mengatur shaf sholat dengan adanya jarak seperti yang ditanyakan di atas, berkaitan dengan hukum meluruskan dan merapatkan shaf. Karenanya, akan kami jelaskan lebih dulu pendapat yang rajih (lebih kuat) dalam hukum meluruskan dan merapatkan shaf ini, karena terdapat perbedaan pendapat di antara ulama dalam masalah ini. Setelah itu akan kami jelaskan hukum syara’ untuk pengaturan shaf secara berjarak dalam pandemik Covid-19 yang ada saat ini.

Perlu diketahui memang ada perbedaan pendapat _(khilâfiyah)_ di kalangan ulama mengenai hukum meluruskan shaf _(taswiyyat al shufûf)_, termasuk di dalamnya adalah merapatkan shaf _(al tarâsh, suddul khalal)_ supaya tidak ada celah/kerenggangan _(furjah)_ antara satu orang dengan orang lainnya.

Dalam masalah ini ada 2 (dua) pendapat.

*Pertama,* pendapat jumhur ulama, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu hukumnya sunnah (mandûb), tidak wajib.

Inilah pendapat jumhur ulama, di antaranya pendapat empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi (Az Zaila’i, _Tabyîn Al Haqâ`iq,_ 1/136), mazhab Maliki (An Nafrâwi, _Al Fawâkih Ad Dâwanî,_ 1/527), mazhab Syafi’i (An Nawawî, _Al Majmû’,_ 4/301), dan mazhab Hanbali (Al Mardâwî, _Al Inshâf,_ 2/30).

*Kedua,* pendapat sebagian ulama, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu hukumnya wajib. Para ulama yang berpendapat seperti ini antara lain Imam Ibnu Hazm _(Al Muhalla,_ 2/375), Imam Ibnu Taimiyyah _(Al Fatâwâ Al Kubrâ,_ 5/331), Imam Ibnu Hajar Al Asqalânî _(Fathul Bârî,_ 2/207), Imam Badruddin Al ‘Ainî _(‘Umdatul Qârî Syarah Al Bukhârî,_ 5/255), dan Imam Ash Shan’ânî _(Subulus Salâm,_ 2/29).

Pendapat kedua inilah yang kemudian difatwakan oleh Syekh Ibnu ‘Utsaimin _(Syarah Al Mumti’,_ 3/10) dan Lajnah Dâ`imah dari Arab Saudi _(Fatâwâ Al Lajnah Al Dâ`imah, Al Majmû’ah Al Tsâniah,_ 6/324). (lihat : https://dorar.net/feqhia/1402/). 

Ulama yang mewajibkan meluruskan dan merapatkan shaf tersebut antara lain berhujjah dengan hadis dari Anas bin Malik RA dalam Shahîh Bukhâri bahwa Rasulullah SAW bersabda :

سووا صفوفكم، فإن تسوية الصفوف من إقامة الصلاة

“Luruskan shaf-shaf kalian, karena sesungguhnya lurusnya shaf itu termasuk ke dalam tegaknya sholat.” (HR Bukhari, no. 690).

Imam Ibnu Hazm mengomentari hadis tersebut dengan berkata :

تسوية الصف إذا كان من إقامة الصلاة فهو فرض، لأن إقامة الصلاة فرض، وما كان من الفرض فهو فرض

“Lurusnya shaf jika termasuk dalam tegaknya sholat, maka hukumnya fardhu (wajib). Karena tegaknya sholat itu fardhu, dan apa saja yang merupakan bagian dari suatu kefardhuan, maka hukumnya juga fardhu.” (Ibnu Hazm, _Al Muhalla,_ 2/375).

Namun demikian, jumhur ulama tidak sependapat bahwa meluruskan dan merapatkan shaf hukumnya wajib. Bagi jumhur ulama, hukumnya sunnah (mandûb), tidak wajib.

Ini karena jumhur ulama berpegang dengan hadis Abu Hurairah RA, dalam _Shahîh Bukhâri_ juga, yang meriwayatkan sabda Rasulullah SAW dengan redaksi yang sedikit berbeda, yaitu sabda Rasulullah SAW :

أقيموا الصف في الصلاة، فإن إقامة الصف من حسن الصلاة

“Luruskan shaf dalam sholat, karena lurusnya shaf itu termasuk dalam bagusnya sholat.” (HR Bukhari, no. 689).

Dalam hadis Abu Hurairah ini, lurusnya shaf disebut sebagai “termasuk bagusnya sholat” _(min husni ash sholât)._ Bukan disebut “termasuk tegaknya sholat” _(min iqâmat ash sholât)_ sebagaimana hadis Anas bin Malik sebelumnya.

Lafal “min husni ash sholât” menurut jumhur ulama menunjukkan makna tambahan (ziyâdah), setelah sempurnanya sholat. Jadi artinya, lurusnya shaf itu bukanlah kewajiban, melainkan sekedar afdholiyah (keutamaan) saja, alias sesuatu yang sunnah, bukan sesuatu yang wajib.

Imam Ibnu Baththal dalam kitabnya _Syarah Shahîh Bukhâri_ menjelaskan hadis di atas dengan berkata:

هذا الحديث يدل أن إقامة الصفوف سنة مندوب إليها ، وليس بفرض ؛ لأنه لو كان فرضًا لم يقل ، عليه السلام ، فإن إقامة الصفوف من حسن الصلاة ؛ لأن حسن الشىء زيادة على تمامه ، وذلك زيادة على الوجوب

“Hadis ini menunjukkan bahwa lurusnya shaf adalah sunnah (mandub), bukan fardhu. Sebab kalau seandainya fardhu, niscaya Rasulullah SAW tidak akan mengatakan lurusnya shaf adalah “termasuk bagusnya sholat” (min husni ash sholat). Karena bagusnya sesuatu itu berarti tambahan atas kesempurnaan sesuatu, yaitu suatu tambahan atas suatu kewajiban...” (Ibnu Bathal, _Syarah Shahîh Al Bukhârî,_ 2/347).

Berdasarkan penjelasan ini, kami lebih cenderung kepada pendapat jumhur ulama, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu hukumnya sunnah, tidak wajib.

Imam Nawawi dalam _Syarah Shahih Muslim_ menegaskan :

وقد أجمع العلماء على استحباب تعديل الصفوف والتراص فيها

“Para ulama sungguh telah sepakat (ijmâ’) bahwa sunnah hukumnya meluruskan dan merapatkan shaf.” (Imam Nawawi, _Syarah Shahîh Muslim,_ 5/103).

Hanya saja, perlu dipahami bahwa penjelasan hukum meluruskan dan merapatkan shaf di atas, adalah jika kondisi kita normal-normal saja, yakni tidak ada pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.

Adapun ketika ada ancaman pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, maka hukum meluruskan dan merapatkan shaf secara syar’i adalah boleh, baik bagi jumhur ulama yang mensunnahkan maupun bagi sebagian ulama yang mewajibkan.

Bagi jumhur ulama yang mensunnahkan, masalahnya jelas, bahwa meluruskan dan merapatkan shaf itu sendiri memang hukumnya tidak wajib. Hukum ini dapat diamalkan dalam kondisi normal ataupun dalam kondisi pandemik sekarang ini.

Adapun bagi ulama yang yang mewajibkan, adanya kondisi pandemik ini merupakan udzur syar’i yang membolehkan meninggalkan kewajiban, sehingga akhirnya merekapun membolehkan pengaturan shaf sholat secara berjarak (social/physical distancing) di masjid.

Sebagian ulama kontemporer yang mengikuti pendapat Imam Ibnu Taimiyah atau Syekh Ibnu Utsaimin yang mewajibkan untuk meluruskan atau merapatkan shaf, akhirnya membolehkan shalat secara berjarak dengan alsan adanya udzur, yaitu khawatir tertular virus Corona.

Dalam situs islamqa.info terdapat fatwa yang menjelaskan :

الذي يظهر جواز صلاة الجماعة في المساجد مع وجود مسافات بين المصلين في الصف خوفا من انتشار العدوى والوباء، وأنه أفضل من إغلاق المساجد، فترك التراص هنا لعذر...

“Pendapat yang jelas adalah bolehnya sholat berjamaah di masjid-masjid dengan adanya jarak-jarak di antara orang yang sholat dalam shaf (barisan) karena takut tertular penyakit atau wabah, dan ini lebih afdhol daripada penutupan masjid-masjid. Jadi meninggalkan merapatkan shaf di sini adalah karena adanya udzur…” (https://islamqa.info/ar/answers/333882/).

Kesimpulannya, *pertama,* pendapat yang rajih (lebih kuat), meluruskan dan merapatkan shaf dalam sholat berjamaah itu hukumnya sunnah, tidak wajib.

*Kedua,* boleh hukumnya mengatur shaf sholat dengan adanya jarak (social distancing) dalam sholat jamaah di masjid-masjid, karena ada udzur, yaitu khawatir akan ancaman Covid-19 seperti sekarang ini. Wallâhu a’lam.

*Yogyakarta, 31 Mei 2020 (9 Syawal 1441 H)*

*M. Shiddiq Al Jawi*

Kamis, 07 Mei 2020

TAUSIYAH RAMADHAN


SISI-SISI KEMU’JIZATAN AL QUR-AAN

Sebagian ulama umat Islam menganggap bahwa sisi kemu’jizatan al-Quran adalah informasi (ikhbar) al-Quran tentang kisah-kisah orang terdahulu, sebagian dari kejadian-kejadian yang akan terjadi pada masa mendatang, dan kandungan al-Quran mengenai sebagian hukum alam yang tidak diketahui oleh manusia di saat turunnya al-Quran; atau yang mereka sebut dengan mu’jizat ilmiah.
Sebenarnya hal-hal yang telah disebutkan di atas tidak dapat dikategorikan sebagai mu’jizat karena dua alasan berikut:
1. Mu’jizat adalah pembuktian kelemahan manusia (itsbaatu ‘ajz al-basyar) dengan hadirnya sesuatu yang dapat melemahkan (al mu’jiz), hingga hari kiamat. Selama manusia mampu menceritakan tentang apa yang terjadi pada masa lampau ataupun memperkirakan tentang kejadian yang akan datang walaupun disertai kebohongan, serta selama ia mampu menyingkap sebagian hukum-hukum alam, niscaya mereka juga mampu menghadirkan semua perkara-perkara tersebut dan mengarang jutaan kitab tentang itu. Oleh sebab itu, keberadaan perkara-perkara seperti itu dalam al-Qur-aan al-Kariim tidaklah menunjukkan kemu’jizatan al-Quran.
2. Ayat-ayat yang mengandung cerita-cerita orang-orang terdahulu dan informasi (khabar) tentang kejadian yang akan datang, serta sebagian aturan-aturan yang terkait dengan ilmu pengetahuan alam hanyalah sebagian saja dari al-Quran. Berdasarkan akal mereka, perkara-perkara itu dianggap sebagai mu’jizat. Sedangkan, ayat-ayat dan surat-surat yang lain tidak mengandung kemu’jizatan ini. Padahal keseluruhan isi yang terdapat dalam al-Quran adalah mu’jizat. Allah telah menantang orang-orang Arab untuk mendatangkan surat yang semisal dengan apa yang ada dalam al-Quran, semisal surat al ikhlaash, al-Falaq dan al-Naas. Sedangkan ketiga surat ini sama sekali tidak mengandung persoalan-persoalan yang mereka anggap sebagai mu’jizat.
Perkara-perkara yang mereka anggap sebagai mu’jizat tersebut hanya dalil atas ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Sehingga bukan termasuk ke dalam salah satu di antara sisi kemu’jizatan al-Quran.
Adapun kemu’jizatan al-Quran yang sebenarnya tercermin di dalam gaya bahasanya yang mengandung makna-makna. Kemu’jizatan al-Quran terletak pada bayan (penjelasannya) dan nazhamnya (harmonisasi)- nya. Bangsa Arab fush-haa (yang masih fasih berbahasa Arab) telah menyadari kemu’jizatan ini. Bahkan salah seorang musuh da’wah, yakni al-Walid bin al-Mughirah, telah mengakui kemu’jizatan ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya saya telah mengenal seluruh sya’ir, Rajaznya, lagunya, sya’irnya, sempitnya, dan keluasannya. Sungguh, al-Quran bukanlah sya’ir”. Kemudian ia melanjutkan, “Sesungguhnya saya telah melihat tukang sihir dan berbagai bentuk sihir mereka. Tapi al-Quran bukanlah seperti mantera tukang sihir, dan juga bukan sihir mereka …, demi Allah, sesungguhnya perkataan Muhammad sangatlah manis. Pokoknya, penuh dengan kesejukan, sedangkan cabangnya penuh dengan bebuahan”.
Al-Khaththaabi pernah berkomentar tentang al-Quran, “Al-Quran menjadi mu’jizat karena, al-Quran hadir dengan lafazhnya yang paling fasih, dalam bentuk susunan ‘sya’ir’ yang terindah; Sehingga melahirkan makna-makna fasih berupa pengesaan terhadap Allah, pensucian sifat-sifat-Nya, seruan untuk mentaati-Nya, penjelasan tentang tata cara penghambaan kepada-Nya dalam hal-hal kehalalan dan keharaman, larangan dan kebolehan, nasehat dan petunjuk, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, serta petunjuk menuju akhlaq yang terpuji. Dan tidak ada satupun yang bisa menyamainya. Semuanya ditempatkan pada proporsinya, sehingga tidak ada yang lebih baik dari al-Quran. Di dalamnya juga termaktub cerita masa lampau serta hukuman pembalasan dari Allah terhadap orang-orang yang durhaka dan membangkang. Di dalamnya terkandung hujjah dan kritik (muhtajj), dalil-dalil dan madlul ‘alaihi (yang ditunjukkan oleh dalil).”
Telah diketahui, bahwa kehadiran al-Quran dalam bentuk seperti itu –dengan gaya bahasa semacam itu-- , terhimpunnya hal-hal yang awalnya tercerai berai hingga akhirnya tersusun sistematis dan harmonis, merupakan perkara yang bisa mematahkan (mu’jiz) ‘kekuatan’ manusia. [Abu Salman Al Khaththabi, dalam kitabnya Bayaanu I’jaaz il Qur-aan].
Sisi-sisi kemu’jizatan al-Quran hanya terbatas pada gaya bahasa (usluub) al-Quran, yakni unsur-unsur penyusun gaya bahasanya:
1. Pada lafazh (al al-faazh) dan susunannya (at taraakiib). Al-Quran hadir dengan gaya bahasa tersendiri. Tidak seorang Arab yang fasih pun, mampu membuat yang semisal dengannya. Sebagian diantara telah berusaha mencoba untuk mendatangkan yang semisal dengannya, namun mereka tidak sanggup.
2. Pada hal irama (nagham). Susunan huruf-huruf dan kata-kata pada ayat-ayat al-Quran datang dengan irama khas yang tidak terdapat pada ucapan manusia, baik di dalam sya’ir maupun prosa. Misalnya, ketika Anda mendengar firman Allah swt:

falaa uqsimu bil khunnas, al jawaaril kunnas, wal layli idzaa ‘as‘as, wash shubhi idzaa tanaffas, innahuu laqawlu rasuulin kariim/
فَلاَ أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِالْجَوَارِ الْكُنَّسِوَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَوَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَإِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ
Maka Aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan yang terlindung, demi malam apabila telah pergi, demi fajar apabila telah terang, sesungguhnya al qur-aan itu adalah firman Allah yang dibawa Rasul yang mulia (QS. At Takwiir[81]: 15-19),

maka Anda akan rasakan desauan huruf “sin” yang berulang-ulang dan kelembutan iramanya yang terasa serasi (harmonis) dengan makna yang dikandungnya. Di situ dibicarakan ketenangan malam dan terbitnya fajar. Misalnya lagi, ketika Anda mendengar firman Allah Ta’aala yang lain:

“idzaa ulquu fiihaa sami’uu lahaa syahiiqan wa hiya tafuur, takaadu tamayyazu min al ghayzhi, kullamaa ulqiya fiihaa fawjun sa-alahum khazanatuhaa alam ya-tikum nadziir/
إِذَا أُلْقُوا فِيهَا سَمِعُوا لَهَا شَهِيقًا وَهِيَ تَفُورُتَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِ كُلَّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَا أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ
Apabila mereka dilemparkan ke dalamnya, mereka mendengar padanya suara yang mengerikan sedang neraka itu menggelegak, hampir (neraka) itu terpecah karena marah. Setiap kali suatu rombongan dilemparkan ke dalamnya, penjaga neraka bertanya kepada mereka, “Apakah belum pernah datang kepadamu seorang yang memberi peringatan? (QS. Al Mulk[67]: 7-8).

maka akan Anda rasakan kekuatan dari kata-kata “ulquu fiihaa” (mereka dilemparkan ke dalamnya), “syahiiqan” (suara mengerikan), “tafuur” (menggelagak), “tamayyazu” (terpecah), “al-ghayzhu” (kemarahan), yang menggambarkan panorama menakutkan mengenai neraka jahannam sebagai tempat dijatuhkannya siksaan Allah kepada kita.

3. Lafadz-lafadz dan susunan-susunan yang terkandung di dalam Al-Quran memuat keberagaman dan kemenyeluruhan makna. Al-Quran telah memberi banyak makna meskipun lafadz-lafadznya ringkas. Sebagai contoh adalah firman Allah yang berbunyi:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ
Dan bagi kalian di dalam hal qishaash itu terdapat kehidupan… (TQS. Al Baqarah[2]: 179).

Walaupun lafadznya ringkas (sedikit), penggalan ayat ini memiliki banyak makna. Sebab, makna ayat tersebut adalah; apabila manusia mengetahui siapa saja yang membunuh, ia akan dibunuh balik, maka hal itu secara tidak langsung merupakan perintah, agar manusia tidak melakukan pembunuhan (irtifaa’ ul qatl) sebab, ia akan dibalas dengan pembunuhan, yaitu qishaash. Dengan demikian, irtifaa’ ul qatl (tidak melakukan pembunuhan) ini merupakan kehidupan bagi manusia yang lain. Allah swt berfirman:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلاَ تَخَافِي وَلاَ تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Dan telah Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Hendaklah engkau menyusukannya, maka apabila engkau khawatir terhadapnya, maka hanyutkanlah ke sungai dan janganlah khawatir dan bersedih hati. Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya salah seorang rasul (TQS. Al Qashash[28]: 7).

Ibnu Arabi berkata, “Ayat ini merupakan pengungkapan kefashihan yang paling tinggi di dalam al qur-aan. Karena di dalamnya terdapat dua perintah dan larangan, serta dua informasi dan kabar gembira. Oleh karena itu, terkumpulnya makna yang sangat banyak dan beragam ini dalam lafadz-lafadz dan susunan-susunan kalimat, dalam sebuah susunan yang sangat jelas, merupakan salah satu penampakan dari kemu’jizatan al-Quran al-Karim”. (As Suyuthiy-Al Itqaan JuzII/55)

Wawancara ketua Idaripeduli

Dalam waktu singkat, program yang diluncurkan oleh Ikatan dai riau (IDARI) peduli guru ngaji berjalan dengan baik dan dapat membantu banyak para guru ngaji. Sehingga kami tertarik untuk menanyakan langsung,  konsep program yang dijalankan.

Berikut liputan nya :
https://youtu.be/3tf4h8bmWkc

Rabu, 06 Mei 2020

IDARI PEDULI GURU NGAJI

Ditengah wabah Covid 19, Ikatan dai riau (IDARI) membuat program sosial bantu guru ngaji,  program ini diluncurkan dalam rangka prihatin kepada guru ngaji yang saat ini tidak bisa mengajar dikarenakan wabah Covid19. Seluruh lembaga pendidikan diliburkan agar tidak menyebarnya wabah ditengah masyarakat. Bahkan Masjid dan musholla juga dilarang untuk dilaksanakan sholat berjamaah, dikarenakan kekhwatiran pemerintah tersebarnya virus ditengah-tengah jamaah. Dalam kondisi seperti ini ketua IDARI Ustadz Daeng Mukhlis mengatakan sangat prihatin kepada guru ngaji yang saat ini tidak punya penghasilan sebab mereka tidak bisa mengajar dan harus berada dirumah.  Saat dikonfirmasi ketua Idari ini juga mengatakan membuat ide sosial peduli guru ngaji agar mereka bisa bertahan hidup ditengah wabah.  Untuk mewujudkan kegiatan ini ketua dan beberapa anggota idari merumuskan program dengan cara membuat poster dan meme peduli guru ngaji kemudian disebarkan dimedia sosial.  Alhamdulillah setelah satu hari diluncurkan kegiatan ini,  dihari keduanya banyak donasi yang masuk dan langsung dibelikan sembako untuk disalurkan kepada guru ngaji.  Pada awalnya dana yang masuk hanya bisa mampu membantu 20 orang guru ngaji,  dan setelah tiga minggu berjalan sudah 100 orang guru ngaji yang terbantu. 
Harapan dari ketua Idari Ustadz Daeng Mukhlis semoga masih ada donator yang memberikan infaqnya agar lebih banyak lagi guru ngaji yang bisa dibantu. ( Liputan DM)

https://youtu.be/3tf4h8bmWkc

Senin, 04 Mei 2020

Kegiatan idari peduli disaat Covid 19 menyalurkan bantuan buat guru ngaji disekita Pekanbaru, Alhamdulillah bisa bermanfaat